Kado Cinta Tuk Santri Dulu dan Kini


Jadi "santri" itu tidak gampang, setidaknya itulah pengalaman saya selama nyantri 10 tahun di dua pesantren di Solo (Ponpes Al-Mukmin Ngruki & Ponpes Hajjah Nuriyah Shabran UMS).

Meski 10 tahun menyandang gelar "santri", tapi saya merasa tak pantas jadi santri. Apalagi bila yang dimaksud dengan sebutan "santri" adalah mereka yang sungguh-sungguh mau belajar agama dan sungguh-sungguh siap berjihad seperti santri-santri jaman dulu yang tergabung di "Hizbullah" dan lain-lain yang begitu semangat berjihad melawan penjajah.


Santri sekarang sepertinya cenderung "enak". Pesantren-pesantren yang "keras", sangat ketat menjalankan peraturan pesantren, serius mengajarkan hidup sederhana seperti para santri-santri dulu dan lain-lain, cenderung kurang atau bahkan tidak laku. Sedang yang laku sekarang umumnya adalah yang modern, yang mahal, yang fasilitasnya tak ubahnya hotel, yang peraturannya longgar, dan lain-lain.


Saat saya masih nyantri di Ponpes Al-Mukmin Ngruki Solo tahun 1987 - 1993 dulu, saya masih sempat sedikit merasakan betapa ketat dan "keras" nya hidup di pesantren. Bahkan saya sampai

sempat dibotak dua kali gara-gara masalah "sepele". Pertama karena keluar komplek tanpa ijin (saat itu saya jadi pengurus majalah dan sudah coba minta ijin mau ke percetakan karena majalah sudah hampir masuk deadline terbit. Akhirnya saya pun dibotak karena nekat pergi padahal tidak dapat ijin).

Yang kedua saya juga sempat dibotak lagi gara-gara saat libur hari jumat saya jalan-jalan melewati sebuah gedung film dan melihat-lihat iklan film-film yang sedang tayang (hanya lihat-lihat poster sekitar 5 menit, bukan nonton film). Eh, ternyata ada bagian keamanan yang lihat saya dan akhirnya saya dibotak 
lagi dengan tuduhan "mendekati maksiat". Hehe...


Lebih dari itu saya juga sempat mengalami dilatih "jihad fillah" atau latihan berperang (tapi senapannya pakai ranting kayu) seakan benar-benar sedang perang melawan "penjajah" atau musuh Allah. Saya juga sempat mengalami hampir tiap bulan "siyahah" atau jalan kaki sekitar 40 hingga 100-an kilo meter dari pesantren ke berbagai tempat wisata untuk tadabbur alam sehingga kaki bengkak bahkan berdarah-darah itu sudah biasa.


Bahkan tak hanya itu, saya juga sempat mengalami tidur selama 6 tahun tidak boleh pakai kasur. Tak kaya tak miskin semua sama rata dan sama rasa, yaitu tidur pakai tikar, sehingga kalau pas bangun ada bekas tikar di tangan dan kaki, bahkan kadang di pipi.

Ingin rasanya saat itu menangis dan kabur dari pesantren. Tapi saat itu tiap terlintas pikiran ingin menangis atau kabur, saya cuma memupus diri dan membayangkan betapa lebih beratnya keadaan santri-santri 
jaman dulu dan betapa masih lumayannya saya saat itu, sehingga akhirnya diri ini tetap tenang dan bertahan nyantri hingga lulus. Sekedar info, saking ketatnya pesantren di era saya dulu, hampir 70% santri-santri se-angkatan saya di Mu'allimin keluar karena tidak betah.


Kini pertanyaannya, masihkah ada "santri" hari ini yang betul-betul mau mempelajari agama untuk membela agama Allah? Membela kitab Allah? Membela utusan Allah? Membela negara dan wong cilik karena Allah?...


Hati ini diam-diam terus berdesir prihatin, sampai akhirnya mulai bisa sedikit tenang saat diri yang lemah dan banyak dosa ini menyaksikan tiap jumat ratusan ribu "santri" di berbagai kota "membela Islam" dari seorang penista agama.


Ya Rabb, berkati "santri-santri" yang luar biasa yang tampil tiap jumat itu, wabilkhusus kang Bakhtiar Nashir, kang Habib Riziq, dan akang-akang lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu di sini.


Berkati pula santri-santri termasuk anak pertamaku yang saat ini juga sedang belajar di pesantren. Semoga anakku juga para santri di seluruh pesantren yang ada tidak hanya "pindah tidur", tidak hanya "terpenjara sebentar" setelah itu nekat melakukan apa saja seperti burung yang dilepas dari sangkarnya, tidak hanya "menguras kocek ortu" sementara di pesantren cuma tura-turu (cuma tidur-tiduran dan bermalas-malasan), tidak hanya "sibuk menghafal Al-Qur'an" tapi tak peduli nasib bangsa dan masyarakat sekitar.


Al-'afwu mingkum. Dari saudaramu yang baru belajar jadi "santri", Restu Sugiharto.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kado Cinta Tuk Santri Dulu dan Kini"

Posting Komentar